Monday, July 28, 2003

Ada beberapa tulisan gw yang pernah di muat di berbagai media, yang bisa diakses lewat internet diantaranya:

A. Resensi Buku

Flatterland

Ash Wednesday


B. Artikel

Represi Seksualitas 


Represi Seksualitas, Kapitalisme dan Krisis Keberagamaan

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0111/17/opi02.html

Oleh: Edwin Irvanus

Kita harus berterima kasih kepada Ratu Victoria yang angkuh dan
puritan karena dia telah memperkenalkan pada kita norma-norma yang
melambangkan seksualitas kita yang berciri menahan diri,
terbelenggu, diam dan munafik. Kita pun tak boleh lupa kepada Jan
Pieterzoon Coen yang telah bersusah payah selama bertahun-tahun pada
awal kolonialisasinya di Indonesia hidup selibat karena istrinya
tidak ikut ke negeri para iblis tak beradab yang baru ditemukan ini.
Sikapnya tersebut sekaligus memperkenalkan thus mempromosikan
puritanisme yang sama - yang diimpornya dari peradaban Eropa saat
itu.
Jangan lupa untuk berterima kasih pula pada Soeharto yang telah
mempromosikan kembali monogami dan mengurung kembali kegiatan
seksual menjadi norma-norma yang memalukan.
Ia memperkenalkan self-censorships hingga kita tak bisa lagi
mengucapkan kata-kata berani, baik kata-kata oposisi maupun
pornografi dan hanya dapat diakomodasi dalam skandal-skandal yang
bahkan lebih memalukan untuk diungkap daripada korupsi yang sungguh
semakin tidak ditutup-tutupi. Kita terus diingatkan pada mitos
Budaya Timur yang telah jadi belenggu bertahun-tahun.
Kalau tidak ada orang-orang tersebut, bayangkan apa yang terjadi
pada peradaban kita sekarang. Seorang filsuf Perancis Michel
Foucault dalam bukunya Histoire de la Sexualité mencatat bahkan
hingga awal abad ke-17 di Eropa, konon masih berlaku keterbukaan.
Kegiatan seksual tak ditutup-tutupi. Kata-kata bernada seksual
dilontarkan tanpa keraguan dan berbagai hal yang menyangkut seks
tidak disamarkan.
Ingatkah semangat renaisans yang mengajar keterbukaan ala Romawi
Kuno? Ketika itu bahkan aurat-aurat tak perlu ditutup-tutupi
melainkan dipertontonkan. Anak-anak bu-gil lalu-lalang tanpa rasa
malu ataupun menimbulkan reaksi orang dewasa: tubuh-tubuh, pada
waktu itu, tenggelam dalam keasyikan.
Nah, inilah saatnya kita mulai bicara tentang Budaya Timur. Jakob
Sumardjo dalam sebuah artikelnya yang mengesankan, ketika tengah
marak pemberitaan dan tudingan kasus porno Sophia Latjuba, Inneke
Koesherawati dan Sarah Azhari justru menulis "Nenek Moyangku Seorang
Nudis". Jakob mengingatkan kita bagaimana candi-candi kita telah
melakukan penggambaran aktivitas seksualitas yang sangat vulgar dan
seronok. Lihatlah relief-relief di Candi Sukuh.
Atau kalau candi ini kurang terkenal, mungkin kita telah berkali-
kali diingatkan tentang Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur
yang memuat erotisme, eksotisme dan kevulgaran. Belum lagi karya-
karya Sastra Kuno karya Ronggowarsito mulai dari Serat Centhini,
Darmo Gandul dan lain-lain.
Kalau anda ingin data yang lebih aktual, hingga awal abad ke-20 yang
lalu di Bali orang masih bertelanjang dada hingga bugil atau
ingatlah Pram dalam Gadis Pantai menceritakan bagaimana neneknya
pada awal abad ini dalam usia remaja masih bertelanjang dada berlari-
lari di tepi pantai dan itulah gadis-gadis pesisir utara Jawa pada
saat itu.
Di Minangkabau, masih awal abad kemarin salah satu raja kecil dari
anak kerajaan Pagaruyung masih memiliki 80 hingga 90an istri resmi.
Atau ingatlah bagaimana hingga saat ini para orang tua di Jawa masih
memanggil anaknya dengan panggilan "tole" dari asal kata konthole
dan "nduk" dari asal kata genduk yang masing-masing adalah nama alat
kelamin.
Lihatlah betapa kita telah sangat tabu mengatakan kata tersebut pada
saat ini. Bahkan kadang-kadang di media masa untuk menyebut
kata "kentut", masih harus membubuhkan kalimat permintaan maaf
sesudahnya, apalagi kata-kata vagina, penis atau senggama yang tentu
saja masih jauh lebih teknis.
Namun, keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul senja
sampai tiba malam-malam panjang yang monoton dari borjuasi
Victorian, dan mempengaruhi kita hingga saat ini.
Sejak itulah seksualitas dipingit rapi, didomestikasi,
dirumahtanggakan. Seksualitas menjadi jumud. Suami-istri menyitanya
dan membenamkan seluruhnya dalam fungsi reproduksi yang hakiki.
Orang tidak berani lagi berkata apa pun mengenai seks.
Di masyarakat dan di rumah tangga satu-satunya tempat yang dihalakan
untuk seks adalah kamar orang tua.
Pasangan tetap pun menjadi model yang tak boleh diragukan lagi nilai
kebenarannya. Segi-segi lain dari seksualitas hanya merupakan jejak
kabur. Jangan-kan memperlihatkan sensualitas, bahkan mem-per-
lihatkan perut yang mulus pun akan menjadi sesuatu yang amat salah
dan tak bermoral, bukan?
Segala sesuatu yang tidak diatur untuk membangun keturunan dan yang
tidak diidealkan berdasarkan tujuan itu tidak lagi memiliki tempat
yang sah dan juga tidak boleh bersuara, diusir, disangkal dan
ditumpas sampai hanya kebungkaman yang tersisa. Seksualitas bukan
hanya tidak ada melainkan tidak boleh hadir dan segera dimusnahkan
begitu muncul dalam tindak atau wacana.
Anak-anak, bukankah mereka tidak mempunyai seks, karena itu lebih
baik mentabukan seks pada mereka. Itulah yang kita sebut pendidikan
yang baik. Kita tutup matanya, kita sumbat telinganya, kita larang
mereka membicarakannya. Kita paksakan kebungkaman yang patuh dan
utuh. Hingga mereka hanya akan tahu secara curi-curi dan TIDAK dari
kita.
Kendati begitu, kemunafikan terpaksa menerima beberapa kompromi.
Jika memang tak terelakan, biarlah seks terjadi di tempat lain.
Mulailah kita mengenal lokalisasi terhadap aktivitas seksual di
rumah-rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa.
Secara sembunyi-sembunyi malam panjang itu telah dialihkan dari alam
serba diam menjadi alam serba duit. Semua yang ditabukan tiba-tiba
menjadi halal kembali dengan harga yang tinggi. Sementara di tempat
lain, puritanisme tetap memberlakukan trisabdanya: pantangan,
ketiadaan dan kebungkaman.
Kita harus membayar mahal untuk melanggar hukum itu, menanggalkan
berbagai tabu, menggunakan kata-kata, membiarkan kenikamatan seksual
tampil kembali dalam kenyataan. Tapi bukankah itu cukup mulia karena
dilandasi semangat menyusun kembali perekonomian.
Wacana seksualitas memang dibentengi dengan kokoh oleh represi
modernitas. Bukankah pembenaran sejarah dan politik yang berbobot
selalu melindunginya. Dengan mengangkat abad ke-17 sebagai awal masa
represi seksual, setelah beratus-ratus tahun ada keterbukaan dan
kebebasan, wacana itu memberi kesan bahwa represi seksual terkait
dengan perkembangan kapitalisme.
Bahkan di negeri ini, setelah Soekarno menjalankan kehidupan erotik
yang melegenda, namun begitu pembangunan dimulai, kita butuh PP 10
untuk membungkus hasrat kita yang kotor dan menghambat pembangunan
(Inilah sebabnya kita harus berterima kasih pada Soeharto).
Dengan demikian riwayat historis seksualitas berikut riwayat
represinya disulap menjadi bagian dari sejarah alat-alat produksi
yang bombastis itu. Seksualitas kehilangan kesepeleannya.
Penjelasannya,

jika seks dikekang sedemikian rupa bukankah karena seks tidak sesuai
dengan konsep kerja yang menyeluruh dan intensif.
Bukankah berhubungan seks bukanlah tindakan yang ekonomis. Sedangkan
sebaliknya mengejar kapital bukankah akan menjanjikan kebebasan
seksualmu pada suatu saat nanti. Pada zaman terjadinya eksploitasi
sistematis atas tenaga kerja, mungkinkah diterima bahwa tenaga kerja
itu terhambur dalam kenikmatan, diluar kenikmatan untuk reproduksi.
Dunia seperti inilah yang coba dihadapi oleh Nanda dan Ahmed, dua
mahasiswa Bandung yang telah menghebohkan itu. Rasanya kita tak
perlu ikut-ikutan menyingkat nama mereka menjadi inisial-inisial
karena toh walaupun mereka telah berhubungan seks dengan tidak
tertib dan ceroboh tidak lantas menjadikan mereka half-existence.
Mereka memang anak-anak nakal yang belum mengerti tentang efisiensi
dan efektifitas. Alih-alih merayakan kebebasannya mereka malah
melakukan perekaman terhadap sesuatu yang mestinya tidak bisa mereka
dokumentasikan.
Sesuatu yang seharusnya mereka lupakan begitu mereka keluar kamar.
Kemudian masyarakat kita yang bermoral ini berbondong-bondong
membawa dokumentasi mereka tersebut ke ruang-ruang privatnya. Sesaat
kemudian mereka berbondong-bondong mengutuki karena mereka tak
sanggup melakukannya sendiri.
Ketika sejarah tak mampu lagi membendung kegairahan besar yang
muncul karena ini. Mulailah kita sebut-sebut lagi agama. Bukankah
agama juga telah melarangnya? Ya, tapi lihatlah betapa menariknya
keberagamaan bagi masyarakat kita. Betapa agama hanya asbak kotor
yang cuma digunakan sebagai pembenaran sikap-sikap politik, di luar
itu agama may step aside.
Keberagamaan kita telah begitu asyiknya sehingga Nanda dan Ahmed dan
jutaan anak muda lainnya bisa memalingkan muka darinya. Bukankah
keberagamaan telah berhasil mencegah maraknya penjualan VCD porno
bahkan sebelum beredar rekaman Nanda dan Ahmed. Oh ya, mungkin kita
harus mengucapkan terima kasih juga pada tradisi Yudea-Christian -di
Indonesia lebih sering disebut tradisi agama samawi, mencakup
tradisi 3 agama terbesar dunia- yang telah membuat tubuh adalah
konsep penuh dosa.
Yang harus diselubungi dan ditutupi karena iblis bercokol dalam
tubuh-tubuh. Tubuh bukan lagi anugerah karena Adam dan Eva telah
memakan buah terlarang, melainkan sarang najis-najis yang telah
membuat merasa Tuhan perlu menebusnya. Tubuh harus menjalani ritual
pembakaran dosa secara intensif yang masuk lewat makanan dan hasrat
untuk kemudian mengalir dalam darah.
Saya ingatkan disini saya tidak menyalahkan agama-agama melainkan
tradisi yang melingkupinya. Tradisi yang telah berabad-abad merasa
berhak untuk melakukan penafsiran-penafsiran atas divine text.
Definisi paling tepat atas apa yang saya maksudkan mungkin seperti
ditulis oleh YB Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas.
Saya juga mengajak kita berterima kasih kepada Jerry Falwell dan
Charles Keating, karena seorang sahabat telah mengingatkan saya akan
karakter dalam kisah nyata yang telah difilmkan dengan judul "The
People versus Larry Flint". Saya tak ingin membahas berkepanjangan
tentang masalah ini.
Saya hanya ingin mengingat kalimat lengkap yang diucapkan Larry
Flint pada seorang fotografer,"Rudy, are you a religious man? You
believe god created man? God created woman? And surely the same god
created the vagina and who are you to defy god?"
Dan percayalah mencari akar dari seluruh masalah ini akan membongkar
satu per satu pilar-pilar penyakit yang telah menyangga masyarakat
ini, sehingga menyelesaikan akarnya akan membuat kita justru tidak
lagi punya masyarakat. Anda memang benar, sudah seharusnya Nanda dan
Ahmed dipersalahkan karena dia telah mengusik ketenangan dan
kebungkaman kita.
Memang sudah pada tempatnya mereka bila mereka dijadikan terdakwa
dalam kasus pornografi dua mahasiswa ini. Buat apa kita peduli pada
hak-hak sipil masyarakat kalau taruhannya adalah hancurnya
masyarakat kita yang sakit ini.
Segala upaya yang akan menarik simpati kita pada mereka hanya akan
menyakiti kita dan harus kita musnahkan, kita singkirkan dan kita
pastikan mereka kembali jadi wacana inferior karena itulah satu-
satunya cara agar kebungkaman, ketertutupan dan roda perekonomian
kita tidak terganggu. And we will live happily forever ever after…

Peran Ganda


C. Puisi

Reportase Sunyi

Imaji Harapan

Sementara segitu dulu, semoga segera bertambah. Ada beberapa yang dimuat di media tanpa website jadi gak bisa di link nanti deh tunggu di-scan dulu.