Thursday, August 03, 2006

The New Embassy Club
Clubbing di Rumah Boneka


Embassy Club Jakarta memang harum namanya. Club yang dibuka sejak 2002 ini tak hanya digelari club paling happening di Jakarta, tapi juga disebut one of the coolest club in Asia oleh berbagai majalah dan website yang membahas clubbing scenes terkemuka. Setelah tutup karena musibah kebakaran 6 September 2005 lalu, banyak orang bertanya-tanya kapan Embassy beroperasi kembali. Kerinduan itu terjawab lewat Embassy Revival supported by Manhattan Credit Card, 19 Mei 2006 lalu.

Rupanya renovasi panjang Embassy Club tak sekedar memulihkan kondisinya seperti sedia kala. Embassy Club bersolek dan tampil lebih cantik dengan konsep interior Modern Classic. Walaupun renovasinya belum 100% tuntas pada 19 Mei itu, kini Embassy sudah menunjukan tampang cantiknya. Interior mewahnya membuat kita seperti berada dalam rumah boneka yang nyaman. Dengan outfit yang tepat, mungkin saja impian jadi Barbie dalam semalam bisa tercapai.

Tidak ada perubahan lokasi di The New Embassy Club. Masih menempati area lama di Taman Ria Senayan. Sekarang club ini terbagi menjadi 3 segmentasi terfokus. Bagian basement tetap menjadi WonderBar yang merupakan bagian Embassy untuk clubbers muda. The Embassy Club untuk regular clubbers. Sementara lantai 2 disulap menjadi Balcony yang dikhususkan untuk VIP dan Gold Card Member. Pengunjung yang masuk dari WonderBar tidak diizinkan untuk memasuki Embassy lantai 1, tetapi dari Embassy lantai 1 diizinkan memasuki WonderBar.

Kalau soal musik, belum banyak bergeser dari konsistensi menampilkan pumping eclectic selections of beats and grooves from the latest world’s dance music trends. Jadi dijamin pasti akan memanjakan partygoer ibukota. Itulah sebabnya DJ Ai Moonchild yang sudah malang melintang hingga Ibiza Spanyol didaulat tampil pada Grand Reopening-nya.

Perubahan signifikan yang sangat terasa di The New Embassy Club adalah atmosfirnya yang lebih mature. Tempat ini jadi lebih comfortable. Aturan baru membuat tamu yang datang terseleksi dan aman. Embassy Club hanya bisa dimasuki pengunjung pria berusia 21 tahun ke atas atau pengunjung wanita minimal berusia 19 tahun. Pokoknya The New Embassy Club specially designed with avant-garde audio and a lighting system and set to satiate the aural and visual senses of the discerning clubber.

Untuk memasuki The New Embassy Club cukup merogoh kocek untuk first drink charge (FDC) sebesar Rp. 80.000,- dan WonderBar Rp. 60.000. Untuk memasuki Balcony, gratis tapi harus menunjukan Gold Card Member. Tamu yang datang sebelum tengah malam, akan mendapat 2 jenis minuman house pouring. Jika berpesta bersama teman-teman merayakan kemenangan pitching, jangan lupa memesan Jack The Ripper racikan khas tempat ini. Dijamin jadi party pumper yang heboh.

Dimuat di Ad-Diction #04
DUA SISI Seminarti Gobel
“Nekad dan kemauan belajar adalah modal utama saya”


Sisi 1: Founder & Owner Go Ad

Seminarti Gobel atau lebih dikenal dengan Tati Gobel memang bukan orang yang monolitik. Kendati jabatan resminya founder dan owner PT Elmapuri Gopita atau Go Ad, namun kemampuan “akrobatiknya”- melompat dari satu divisi ke divisi lain, untuk menutupi kekurangan – sudah bukan barang aneh bagi tim suksesnya di Go Ad. “Kalau perlu, saya bahkan bisa jadi office girl”, selorohnya.

Padahal sebenarnya kiprah Tati di dunia advertising tidak diniatkan sejak awal. Mulanya wanita enerjik ini menempuh pendidikan Ilmu Politik di Hubungan Internasional UI dan bercita-cita menjadi diplomat. Setelah serangkaian tes di Deplu RI, tersadarlah dia bukan ke sana panggilan jiwanya. Tati lantas memutuskan untuk melanjutkan study ke Ohio University. Dalam sebuah acara yang diadakan PERMIAS, Tati berkenalan dengan almarhum Ken Sudarta. Setelah bincang-bincang yang inspiratif dengan almarhum. Terbukalah mata Tati tentang dunia advertising.

Seusai kuliah, Tati sempat menjadi Humas Garuda Indonesia selama setahun, lalu mantaplah tekadnya terjun ke advertising. Berdirilah Go Ad di tahun 1991. “Ketika itu modal saya hanya nekad dan kemauan belajar”, ungkapnya. Tati mengaku banyak belajar dari pergaulannya di lingkungan PPPI dan senior-senior industri periklanan. Tahap demi tahap dilalui Go Ad untuk tumbuh kembang seperti sekarang. “Awalnya kami mengerjakan segala hal, mulai dari membuat brosur yang kecil-kecil hingga akhirnya dipercaya menggarap campaign strategy besar”, katanya.

Uniknya, kendati berasal dari keluarga Gobel yang berjaya dengan Nasional Panasonic, Tati emoh bergabung dengan bisnis keluarga. “Selain karena pesan orang tua agar anak-anak wanitanya mandiri, saya juga merasa kurang leluasa belajar jika bergabung dengan usaha keluarga”, paparnya tanpa maksud merendahkan. Bahkan Go Ad pun awalnya tidak menggarap kegiatan advertising Nasional Panasonic. Baru setahun terakhir ini Go Ad menggarap corporate identity perusahaan elektronik besar ini. “Itupun melalui proses pitching yang ketat dan fair”, ujarnya.

Yang jelas setelah 15 tahun berkiprah di advertising, Tati masih selalu merasa momen menang pitching sebagai momen kebahagiaan tiada banding. “Setiap menang pitching perasaan bahagia itu pasti lahir kembali, karena tiap kemenangan melalui proses dan pengalaman tersendiri”, jelasnya. Hingga kini, Tati bangga dengan pekerjaan yang telah dilakukannya untuk para klien. Tercatat brand-brand seperti OTC, Bisolvon, Mixagrip, Strpsil, Ultra Fresh, Suzuki Thunder dan Satria dan Suzuki Grand Vitara pernah digarapnya. Meskipun kini Go Ad telah berkembang cukup mapan, tekad Tati untuk terus membesarkan Go Ad tak pernah surut.

Namun dalam urusan skala perusahaan, Tati tetap mempertahankan format kecil dan efektif, maksimal dengan 40 staf. Hal ini dimaksudkan agar tidak terentang jarak dan birokrasi antaranya dengan staf-stafnya. Dengan kepribadiannya yang hangat dan dinamis, Tati senantiasa berusaha mendorong potensi-potensi muda yang ditemuinya untuk maju di dunia advertising. Jika harus mengungkapkan rahasia dapurnya, maka dengan mantap Tati akan menjawab modal nekad, pantang menyerah dan kemauan belajar adalah kunci suksesnya. Rasanya patut juga untuk kita tiru.

Sisi 2: Publisher dan Producer

Setelah Go Ad bisa dikatakan cukup kokoh, Tati mulai melirik-lirik peluang diversifikasi usaha tetapi masih dalam lingkup komunikasi. Pucuk dicinta ulam tiba, datanglah tawaran Singapore Press Holding (SPH) Company untuk menggarap penerbitan salah satu majalah dari grup ini di Indonesia. Setelah uji kelayakan dan negosiasi, maka Tati memutuskan untuk menerbitkan Her World Indonesia di bawah panji PT. Media Ikrar Abadi (MIA) di tahun 2000.

Seperti pernah dilakoninya dengan Go Ad, kali ini pun Tati maju dengan strategi serupa. “Lagi-lagi modal nekad dan kemauan belajar” tegasnya. Tati tak malu mengakui kalau dia belajar banyak dari figur Soetikno Soedarjo, sahabat lama keluarganya yang telah makan asam garam industri media lewat MRA Media dan Suara Pembaharuan.

Untuk mulai berkecimpung di dunia yang sama sekali baru ini, Tati tak segan belajar lagi mulai dari masalah peristilahan, bisnis dengan advertising, sirkulasi, editorial dan sebagainya. Malah Tati merasa kegirangan karena di industri yang baru digelutinya ini selalu ada saja hal baru untuk dipelajari. “Industri ini menawarkan lahan untuk never ending learning yang harus digarap dengan serius”, ujarnya.

Tati sadar, ketatnya kompetisi di industri media membuatnya harus memasang kuda-kuda untuk selalu siap dengan perubahan. “Kita harus selalu menangkap apa yang tengah dikerjakan kompetitor dan apa yang diinginkan pasar, agar bisa terus membumi”, tambahnya. Lengah sedikit, maka akan banyak ketinggalan yang harus dikejar. Hingga kini Media Ikrar Abadi yang didirikannya telah meneritkan 3 majalah yang cukup diperhitungkan di segmennya masing-masing, yaitu Her World Indonesia, Her World Brides (wedding magazine) dan MAXIM Indonesia.

Momen-momen bahagia berhasil didapatinya lagi di industri ini lewat capaian-capaian yang tangible. “Sales bagus dan progress, respons pengiklan besar dan awareness luas” ungkapnya. Tati pun senantiasa berusaha untuk menjaga agar kiprahnya di industri ini tetap profesional, sehat dan mandiri.

Aksi terbaru Tati akan kita simak juga Agustus mendatang. Kali ini Tati melompat lagi ke dunia yang sama sekali baru, yakni industri film. Adalah Richard Oh, orang iklan juga, pemilik jaringan toko buku QB dan sastrawan yang awalnya menunjukan skenario film Koper yang tengah ditulis dan akan segera digarapnya. Tati sangat terkesan dengan skenario ini. “Film ini tidak melulu berorientasi komersial, tetapi juga mengajak berpikir dan menyampaikan pesan-pesan penting bagi bangsa ini”, katanya. Karena itu, Tati tak ragu-ragu untuk bergabung sebagai Executive Producer di film ini, lagi-lagi dengan modal nekad dan kemauan belajar. Film yang dibintangi Anjasmara, Maya Hasan dan Djenar Maesa Ayu ini segera bisa kita nikmati di gedung-gedung bioskop Agustus mendatang.

Semua langkah Tati ini selalu diawali dengan berpikir positif. “Apapun yang kita lakukan dengan sepenuh hati, pasti akan ada buahnya”, ungkapnya. Karena itulah konsistensi harus menjadi mandatory yang tak boleh dilupakan. Dengan segudang kesibukannya seperti sekarang plus sederetan lagi kegiatan organisasi, citra apa sebenarnya yang diinginkan Tati untuk dilekatkan orang pada dirinya? “Panggil saja saya Tati” ujarnya sambil tersenyum simpul menutup perbincangan. (EwinK)

Dimuat di Ad-Diction #04
Art Cinema TIM
“Cara baru cuci mata”


Apa yang biasa dilakukan untuk cuci mata? Tentu saja mencari pemandangan segar yang menghadirkan cara pandang baru. Kalau masih ABG, biasanya kita nongkrong di mal menyaksikan lagak dan gaya remaja. Tapi setelah dewasa seperti sekarang, tentu butuh cara baru untuk cuci mata. Salah satu cara yang paling disukai warga Jakarta adalah menonton film di bioskop. Hanya saja di bioskop regular, rata-rata kita disuguhi film Hollywood yang makin lama, makin terbaca pola dan formulanya. Lantas apa pilihannya? DVD bajakan? Wow, jangan dong. Piracy is a crime lho!

Sejak 29 Juni setahun silam, di Jakarta telah dibuka Art Cinema yang menempati Studio 1, TIM 21 di bilangan Cikini Jakarta Pusat. Gedung bioskop yang selama ini digunakan komersial itu, kini disulap menjadi Art Cinema yang dikelola Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) setiap tanggal 1 hingga 15 setiap bulannya. Art Cinema tak sekedar memutar film-film biasa, melainkan film-film yang dikurasi terlebih dulu oleh tim kurator yang dibentuk DKJ, yang antara lain beranggotakan Seno Gumira Ajidarma (FFTV IKJ), Alex Sihar (Konfiden), Tintin Wulia (Minikino), Budi Iwabski (Komunikatif), Lulu Ratna (Boemboe) dan Daniel Rudi Haryanto (Cinema Society). Selain film-film yang dikurasi khusus, Art Cinema ini juga memutarkan program-program khusus seperti Swedish Film Festival seperti yang sempat disaksikan Ad-Diction akhir Juni lalu.

Konsep Art Cinema semacam ini sebenarnya tidak asing ditemui di negara-negara lain. Di Jakarta sendiri, Ratna Sarumpaet sebenarnya konsepnya telah digagas sejak era Ali Sadikin di tahun 1960-an, abad yang lalu. Hanya saja eksekusinya ternyata harus menunggu lebih dari 5 windu kemudian.

Hera Diani, jurnalis The Jakarta Post yang sempat menjadi juri FFI 2004 berkomentar bahwa kehadiran bioskop semacam ini sangat diperlukan. Jadi ada venue untuk tidak sekedar menonton film-film mainstream. Film-film non-mainstream selain memberi perspektif baru, bisa jadi ruang belajar juga untuk sineas lokal.

Jadi mari cuci mata di Art Cinema. Bulan Juli ini, Art Cinema rencananya mengadakan IKJ Jump Street dalam rangka ultah IKJ dan menayangkan beberapa film pilihan karya sineas lokal. Semuanya bisa dinikmati dengan tiket yang berkisar 5000-10.000 rupiah saja. Siapa tahu bisa dapat ide baru untuk tugas-tugas kita.(ewink)

Dimuat di Ad-Diction #04